Papua,
salah satu destinasi wisata yang selalu ada dalam "on the list" saya.
Bagaimana tidak, surga dunia di ujung Indonesia ini mempunya kekayaan
alam yang luar biasa. Sebagai provinsi terbesar dengan luas 808.105 KM
persegi dan termasuk pulau terbesar kedua di dunia, papu memang
manjanjikan 'surga' bagi para nikmat alam. Sebut saja Raja Ampat yang
menjadi surga bawah laut yang katanya terindah di dunia.
Selain
kekayaan bawah airnya yang luar biasa, Papu juga menyimpan kekayaan
flora, fauna dan bahkan logam mulia yang sangat 'mahal'.
Ya semua kekayaan itu milik Papua. Tapi, seperti yang kita lihat di TV, Papua bersedih. Alam nya yang 'mahal' telah di jajah.
Sepertinya melihat kasus "Papa Minta Saham" kalian pasti tau apa yang akan kita bahas. Ya, FREEPORT. Pantaskah bila saya menyebut FREEPORT merupakan penjajah Tanah Papua?
FREEPORT
Freeport adalah emas. Itulah gambaran perusahaan tambang asal Amerika yang sudah 43 tahun menancapkan kukunya di Tanah Papua. Freeport merupakan tambang emas terbesar di dunia. Ya, terbesar DI DUNIA.
Dulunya tambang emas ini pernah dikira merupakan tambang tembaga. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Lisa Pease, seorang penulis asal Amerika Serikat,
menarik berjudul “JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur”. Artikel
heboh ini dimuat dalam Majalah Probe, edisi Maret-April 1996. Kemudian,
artikel ini disimpan di dalam National Archive di Washington DC, Amerika
Serikat.
Paling menarik, dalam artikelnya Lisa Pease menulis
penjarahan Freeport atas gunung emas di Papua sudah dimulai sejak tahun
1967. Namun, kiprah Freeport sendiri di Indonesia sudah dimulai beberapa
tahun sebelumnya.
Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris
bangkrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba
tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator
Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu
dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan
pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan
terjadi. Berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan
terhadap Castro, namun selalu pula menemui kegagalan.
Di tengah
situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang
menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan
Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.
Pada saat
itu, Gruisen bercerita bahwa dirinya menemukan sebuah laporan
penelitian atas Mountain Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang
ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu sebenarnya
sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu
saja di Perpusatakaan Belanda. Van Gruisen tertarik dengan laporan
penelitian yang sudah berdebu itu dan membacanya.
Dengan
berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pimpinan Freeport Sulphur itu
jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga
menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti
wilayah lainnya di seluruh dunia. Kandungan biji tembaga yang ada di
Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak
tersembunyi di dalam tanah.
Mendengar hal itu, Wilson sangat
antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek
kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar,
maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari
kebangkrutan yang sudah di depan mata.
Selama beberapa bulan,
Forbes Wilson melakukan survei dengan seksama atas Gunung Ersberg dan
juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini ditulisnya dalam sebuah buku
berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson menyebut gunung
tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak
perlu menyelam lagi. Karena semua harta karun itu telah terhampar di
permukaan tanah.
Dari udara, tanah di sekujur gunung tersebut
berkilauan ditimpa sinar matahari. Wilson juga mendapatkan temuan yang
nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung
tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak! luar biasa.
Menurut
Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold Mountain, bukan
Ersberg Mountain atau Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar
pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar dan
dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal.
Pimpinan Freeport
Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport
Sulphur menekan kerjasama dengan East Borneo Company untuk
mengeksplorasi gunung tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur
mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di
Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah
mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno
malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.
Tadinya Wilson
ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar
mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya
mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda akan menghentikan bantuan
Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat.
Belanda yang
saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali
negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa
mengalah dan mundur dari Irian Barat.
Ketika itu, sepertinya
Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak
emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta
sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS
tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada di gunung tersebut.
Dampak
dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian
kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pimpinan
Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan
paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan
melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan.
Segalanya
berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas
ditembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan
Kenndey merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum
Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik
di Amerika.
Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil
siap yang bertolak-belakang dengan pendahulunya. Johnson malah
mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya.
Salah
seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye
pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C Long. Ia juga salah
seorang anggota dewan direksi Freeport. Tokoh yang satu ini memang
punya kepentingan besar atas Indonesia.
Selain kaitannya dengan
Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan
dengan Standard Oil of California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan
kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya
diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Caltex, sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.
Augustus
C Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang
ini disingkirkan secepatnya. Mungkin suatu kebetulan yang ajaib.
Augustus C Long juga aktif di Presbysterian Hospital, New York di mana
dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia
umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh
CIA.
Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh
ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun sementara sebagai
pimpinan Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu yang
di Indonesia dikenal sebagai masa yang paling krusial.
Lisa
mendapakan data jika pada Maret 1965, Augustus C Long terpilih sebagai
Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Agustus 1965,
Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelijen kepresidenan AS
untuk masalah luar negeri.
Badan ini memiliki pengaruh sangat
besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu.
Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno,
yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat
yang disebutnya sebagai “our local army friend”.
Salah satu bukti
adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48,
yang menyatakan ada kelompok Jenderal Suharto yang akan mendesak
angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno
berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi jika
hal itu benar adanya.
Setelah Soeharto berkuasa, maka Freeport
dengan leluasa menjarah Gunung Ersberg yang disamping terkandung tembaga
juga terdapat kandungan emas dan perak, bahkan terdapat kandungan
uranium.
(http://www.realhistoryarchives.com/collections/hidden/freeport-indonesia.htm)
KESEDIHAN PAPUA
Di tengah pertimbangan pemerintah mengkaji ulang kotrak tambang PT. FREEPORT, kasus pencatutan nama dan minta jatah saham demi kelancaran investasi telah menyakiti rakyat Papua.
Dikutip dari Merdeka.com, Mama Yosepha salah seorang tokoh perempuan suku Amungme, merupakan orang yang rajin menyuarakan penindasan di bumi cendrawasih ini menyatakan jika keberadaan FREEPORT sama sekali tidak memiliki manfaat untu rakyat Papua. Keberasaannya justru menghancurkan kehidupan orang-orang asli Papua. Keberadaan FREEPORT disebut Mama Yosepha tidak bertanggung jawab, menghancurkan, menghabiskan sumber daya Papua. Freeport datang merampas hak rakyat, hak tanah dan hak segala-galanya.
Menurut Mama Yosepha sumbangsih yang diberika Freeport selama ini tidak ada. Uang yang mereka berikan merupakan uang darah, darah kotor yang mereka (red : freeport) untuk cuci tangan. Kekerasan yang terjadi di Tanah Papua juga tidak sebanding dengan yang sumbangsih Freeport untuk Papua. (Merdeka.com)